teknologi

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Minggu, 21 Juli 2013

kerusakan pada Televisi

ANALISA KERUSAKAN TV GARIS VERTIKAL

dsc00282.jpg
keruksakan seperti gambar diatas garis horizontal bisa di sebabkan :

1 elko kering
2 ic vertikal ruksak
3 dioda jebol alias short
4 resistor meral
5 yoke terbakar
6 bisa tidak ada suplay tegangan b+ 24volt menurun

TV ADA SUARA TAK ADA GAMBAR

Category: KERUKSAKAN2 TV

eh pagi pagi enaknya sarapan kopi ama roti eh ini udah di sajikan tv servisan malum beginih kalaw orang usrip [usaha ripuh] tak buka kesing tv jangan porno, kecing tv tak ukur semuang tegangan di legulator cek semuah udah ok tegangan bagus cek out tegangan pelaybeck ada yang drop di teganan 180v untuk tegangan crt tak ganti elko 10uf 250v tegangan langsung ok tapi tv belum menyala cek lagi tegangan pilamen yang 6v ac tidak ada taganti R 1ohm2wat tegangan lansung ok tingal di tes tv di nyalakan tv langsu ok menyala,dapet deh bayaran.

tanda tanda flaybeck ruksak

Category: FLAYBECK

flayback.jpg

1 tegangan B+ngedrop
2 flaybeck bocor
3 screen fokus tidak bisa di atur
4 output flaybeck tidak keluar 5 kalaw di ukur dari cop playbeck ke groud pake avo bergerak berarti ruksak

Selasa, 21 Mei 2013

Kumpulan Makalah Hadits



ETOS KERJA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis I dan Pembelajarannya Yang Dibina Oleh:
Dosen:  Drs. H. Maslani, M.Ag
Wahyu Hidayat, M.A

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM/II/A
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

Disusun Oleh:
Abdul Muis Zaelani   (1122020159)
Ahmat Sayfudin         (1122020175)
Annisa Isna Setiani    (1122020179)










BANDUNG
2013/1434 H

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur halus dan unsur kasar atau yang kita kenal ialah unsur rohani dan jasmani. Kedua unsur tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda, yang dimana bila kebutuhan-kebutuhannya tidak dipenuhi akan menimbulkan akibat pada diri manusia. Unsur rohani membutuhkan konsumsi-konsumsi halus seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an dan lain-lain. Adapun unsur jasmani memerlukan konsumsi seperti makan, minum, olah raga dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan jasmani atau katakanlah untuk mendapatkan materi supaya bisa bertahan hidup dan menghidupi keluarga bagi seorang kepala rumah tangga, maka manusia haruslah bekerja keras. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-jumu’ah ayat10,
إِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوةُفَانتَشِرُواْ فِى الاٌّرْضِ وَابْتَغُواْ مِن فَضْلِ اللَّهِوَاذْكُرُواْ اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ()
Artinya :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Q.S.Al-Jumu’ah(62):10)
Tidak bisa seorang muslim hanya berpangku tangan meminta-minta kepada orang lain atau hanya berdo’a kepada Allah tanpa berusaha terlebih dahulu. Tetapi tidak baik juga hanya mengandalkan kemampuan diri tanpa berdo’a kepada Allah, jika demikian maka itu dikatakan sombong.
Seorang muslim selayaknya mengeluarkan segala kemampuan untuk mendapatkan rizki yang halal lagi baik, kemudian setelah berusaha barulah berdo’a kepada Allah dengan memohon karunia-Nya. Jika itu telah dilakukan maka insya Allah tidak akan ada kesulitan, jikalau ada kesulitan dalam usahanya maka seorang muslim akan tegar dan tenang dalam mengahadapinya dan berusaha mencari jalan keluar untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya rezeki yang diperolehnya pun akan berkah dan maslahat.
Dalam realita kehidupan sekarang banyak orang yang hanya berpangku tangan dengan meminta-minta kepada orang lain. Padahal jika di lihat dari fisiknya orang tersebut masih bisa bekerja dan berusaha. Selain itu, ada juga orang yang hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri tanpa dibarengi dengan berdo’a kepada Allah, sehingga ketika usahanya mendapatkan kesulitan atau bangkrut orang tersebut tidak kuat sepiritualnya, akhirnya stres dan prustasi bahkan sampai bunuh diri.
Selain itu ada juga orang yang takut dalam bekerja dan berusaha, dia tidak percaya diri dan tidak yakin kepada Allah. Dia takut jika membuka usaha maka usahanya akan bangkrut dan dia juga takut jika dia bekerja tidak menghasilkan apa-apa atau gagal dan sebagainya.
Konsep kerja menjadi sangat penting, karena menyangkut tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan masalah di atas, maka penulis akan membahasnya dalam makalah yang berjudul ”Etos Kerja Menurut Pandangan Islam ”.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan etos kerja?
2.      Mengapa manusia harus bekerja?
3.      Bagaimana etos kerja para Nabi dan Rasul?
4.      Bagaimana etos kerja menurut pandangan Islam?


BAB II
PEMBAHASAN
1.   Pengertian Etos Kerja
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etos artinya pandangan hidup dalam suatu golongan secara khusus;[1] sedangkan kata kerja, artinya perbuatan melakukan sesuatu kegiatan yang bertujuan mendapatkan hasil.[2]
Menurut Franz Magnis dan Suseno berpendapat bahwa etos adalah semangat dan sikap batin tetap seseorang atau sekelompok orang sejauh di dalamnya termuat tekanan moral dan nilai-nilai moral tertentu.[3]
Menurut Clifford Geertz berpendapat bahwa etos adalah sebagai sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup.[4]
Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u ‘ulumuddin”, pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran.
Dalam bahasa Yunani, kata “etos” berasal dari kata “ethos” yang bermakna watak atau karakter. Jadi, etos adalah Karakteristik, sikap, kepercayaan, dan kebiasaan, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia.
Jadi, etos kerja adalah dorongan, kehendak, atau prinsip bekerja yang muncul dari jiwa individu untuk melakukan suatu kegiatan.


2.    Manusia Harus Bekerja dan Berusaha 
Islam adalah ‘aqidah, syar’iah dan ‘amal. Sedangkan amal meliputi ibadah, ketaatan dan kegiatan dalam usaha mencari rezeki, mengembangkan produksi serta kemakmuran. Oleh karena itu, Allah SWT. menyuruh kepada umat-Nya supaya bekerja dan berusaha di muka bumi untuk memperoleh rezeki[5], Allah SWT. berfirman:
إِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوةُفَانتَشِرُواْ فِى الاٌّرْضِ وَابْتَغُواْ مِن فَضْلِ اللَّهِوَاذْكُرُواْ اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ()
Artinya:
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Q.S.Al-Jumu’ah(62):10)
Islam menganjurkan supaya bekerja, karena bekerja melatih kesabaran, ketekunan, keterampilan, kejujuran, ketaatan, mendayagunakan fikiran, menguatkan tubuh, mempertinggi nilai perorangan dan masyarakat serta memperkuat persatuan dan kesatuan[6].
Islam membenci pengangguran, kemalasan dan kebodohan, karena itu merupakan maut yang lambat laun akan mematikan semua daya kekuatan dan akan menjadi sebab keburukan dan kerusakan.
            Barton berpendapat bahwa kemalasan adalah maut dan racun yang membunuh badan dan akal. Seekor anjing yang malas karena ditimpa penyakit rontoklah rambutnya, demikianlah keadaannya seorang yang malas dan lemah[7].
            Allah berfirman dalam surat An-naba ayat 11.
وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشاً
Artinya:
Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (Q.S An-Naba:11)
Dalam tafsir juz’ama diterangkan bahwa makna kata النَّهَارَ مَعَاشاً , adalah untuk menghasilkan bekal buat hidup[8].
Abu Laits Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW, bersabda[9]:
من طلب الد نيا حلا لا استعفا فا عن المسأ لة و سعيا على اهله وتعطفا على جاره بعثه الله يوم القيا مة ووجهه كا لقمرليلة البدر. ومن طلب الدنيا حلا لا مكا ثرامفاخرامراءيالقي الله تعاالى يوم القيامة وهو عليه غضبان.
Artinya:
Siapa yang mencari dunia yang halal untuk menjauhkan diri dari minta-minta, dan usaha untuk keluarganya, dan untuk baik dengan tetangganya, akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat mukanya bagaikan bulan purnama, dan siapa yang mencari dunia halal untuk memperbanyak, dan berbangga dan sombong, akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat sedang Allah murka kepadanya.”
Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْاْ فِى الاٌّرْضِ وَلَـكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرُ بَصِيرٌ()
Artinya:
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki, Sungguh, Dia Maha Teliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (Q.S.Asy-Syura:27)
Syaqiq bin Ibrahim ketika mengartikan ayat di atas ialah, andaikan Allah memberi rizki tanpa usaha niscaya manusia akan lebih rusak dan lebih banyak kesempatan berbuat kejahatan, tetapi kebijaksanaan Allah menghibur manusia dengan usaha kasab, supaya tidak merajalela untuk merusak[10].
            Umar bin Al-Khatab r.a. berkata: “ Hai orang-orang fakir/miskin angkatlah kepalamu, dan berusahalah kamu, sebab telah jelas jalannya, dan jangan kalian selalu menjadi beban pada orang lain”.
3.   Etos Kerja Para Nabi dan Rasul
1.    Nabi Muhammad SAW
            Pada masa kecil dan muda, beliau mengembalakan kambing. Beliau mengembalakan kambing Bani Sa’ad bersama saudaranya sesusu, kemudian menggembalakan kambing untuk penduduk Mekkah dengan upah yang tertentu.
            Rasulullah berdagang sebelum menjadi Nabi. Ketika Khadijah yang mulia itu memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk menjualkan dagangannya dengan memberi keuntungan kepada mereka, dan setelah Khadijah mendengar bahwa Muhammad adalah seorang yang jujur kata-katanya, sangat amanah dan mulia budi pekertinya, maka ia menawarkan kepadanya untuk pergi ke Negeri Syam, dengan membawa dagangannya dan akan diberi keuntungan yang lebih baik daripada yang lainnya, Muhammad menerima tawaran itu dan pergi ke Negeri Syam[11].
            Nabi Muhammad Saw, suka memberi makan unta dan mengikatnya sendiri, menyapu di rumah, memerah susu kambing, membetulkan sandal, memperbaiki bajunya, dan membantu pembantunya dalam membuat tepung gandum,  serta membawa sendiri sesuatu apa yang dibelinya dari pasar[12].
“Anas r.a. mengatakan bahwa seorang laki-laki dari Anshar (pendidik Madinah yang menolong Muhajirin yang pindah dari Mekkah) pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw, dan meminta sesuatu. Bersabdalah Nabi Muhammad Saw, “Ada sesuatukah di rumahmu?” Laki-laki itu menjawab, “Ya, betul. Aku mempunyai alas pelana, yang sebagian kami pakai dan sebagian lagi kami hamparkan. Kami juga mempunyai gelas besar dan berat tempat minum kami.” Rasulullah Saw, menyuruhnya membawa keduanya ke hadapannya. Orang itu pun melaksanakan perintah Rasulullah Saw, kemudian Rasulullah Saw, mengambilnya dan menawarkan keduanya kepada sahabat-sahabatnya, seraya bersabda, “Siapakah yang akan membeli kedua barang ini? ”Ada seorang laki-laki yang berkata, “Aku mampu membelinya satu dirham.” Rasulullah Saw, bersabda, “Adakah yang dapat menambahnya sehingga lebih dari satu dirham, dua kali atau tiga kali lipatnya?” Berkatalah seseorang, “Aku dapat membelinya dua dirham.” Setelah melakukan tawar menawar Rasulullah Saw, memberikian kedua barang itu kepadanya, seraya mengambil uang seharga dua dirham, lalu diberikannya kepada orang (miskin) Anshar itu, seraya bersabda, “Belikanlah olehmu yang satu dirham makanan lalu berikan kepada keluargamu, sedang yang satu dirham lagi dibelikanlah gergaji dan dibawakanlah gergaji itu padaku. Dia pun membawa gergaji kepada Rasulullah Saw, kemudian Rasulullah Saw, menancapkan gergaji itu ke sebatang kayu dan diberikan pada orang Anshar itu dengan tangannya, seraya bersabda, “Pergilah carilah kayu lalu juallah, aku tidak akan melihatmu lima belas hari.” Diapun melakukan pesan Rasulullah Saw, dan hari-hari berikutnya dia mendatangi Rasulullah Saw, sementara itu, dia telah beruntung sepuluh dirham. Dia membeli pakaian, makanan, dan lain-lain dengan uang itu. Rasulullah Saw, bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada meminta-minta yang akan menjadi noktah noda pada mukamu pada hari kiamat.” (H.R. Abu Dawud, Nasa’I, dan Tirmidzi)[13]
2.    Nabi Dawud a.s
Abu Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Nashier bin Yahya berkata Bahwa Nabi Dawud a.s. biasa keluar dengan menyamar, lalu menanyakan orang tentang kelakuannya, maka pada suatu hari Malaikat Jibril berupa anak Adam sehingga ditegur oleh Nabi Dawud, “Hai pemuda, bagaimana pendapatmu tentang Dawud?” Jawabanya, “Sebaik-baik hamba, hanya ada satu sifat kurang baik”. Ditanya, “Apakah itu?” Jawabannya, “Ia makan dari Baitul Maal Lil Muslimin, padahal tiada seorang hamba yang disayang Allah lebih daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri”. Maka kembalilah Nabi Dawud ke mihrabnya sambil menangis dan mohon kepada Allah. “Ya Allah ajarkan kepadaku usaha yang dapat saya kerjakan sehingga saya tidak lagi mengambil belanja di Baitul Maal”. Maka Allah mengajarkan kepadanya membuat pakaian perang dan melunakkan besi ditangannya sehingga bagaikan adonan, maka bila ia telah selesai dari melayani hajat rakyatnya ia kembali di rumah membuat baju besi dan dijual untuk belanja sekeluarganya[14].
3.    Nabi Sulaiman a.s
Hisyam bin urwah dari ayahnya dari A’isyah r.a berkata, “Nabi Sulaiman bin Ibrahim a.s. adakalanya ia khutbah di atas mimbar, sedang di tangannya memegang janur (daun kelapa/kurma) untuk membuat keranjang untuk berbelanja atau lain-lain kerajinan tangan, kemudian jika telah selesai diberikan kepada pelayannya untuk dijualnya ke pasar[15].
4.   Etos Kerja Menurut Pandangan Islam
1.     Pekerjaan yang Paling Baik
عن رفاعة بن رافع أن النبي صلى الله عليه وسلم سأل:اي الكسب أطيب؟ عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور
a.       Terjemahan Hadis:
“Rifa’ah bin Rafi’I berkata bahwa Nabi SAW, ditanya, “Apa mata pencarian yang paling baik?” Nabi menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih.” (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim)
b.      Penjelasan Hadis
Islam senangtiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharap rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian, tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah SWT. dan tidak mau berdoa kepada-Nya[16].
Banyak sekali ayat al-Quran yang menyuruh manusia untuk bekerja dan memanfaatkan berbagai hal yang ada di dunia untuk bekal hidup dan mencari penghidupan di dunia, di antaranya:
إِذَا قُضِيَتِ الصَّلَوةُفَانتَشِرُواْ فِى الاٌّرْضِ وَابْتَغُواْ مِن فَضْلِ اللَّهِوَاذْكُرُواْ اللَّهَ كَثِيراً لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ()
Artinya :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Q.S.Al-Jumu’ah(62):10)
وَقُلِ اعْمَلُواْ فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَـلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَـدَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ()
Artinya:
“Dan Katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan Melihat Pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Diberitakan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (Q.S.At-Taubah(9):105)
Ayat-ayat di atas pun menunjukkan bahwa kaum muslimin yang ingin mencapai kemajuan hendaknya harus bekerja keras. Telah menjadi sunatullah di dunia bahwa kemakmuran akan dicapai oleh mereka yang bekerja keras dan memanfaatkan segala potensinya untuk mencapai keinginannya. Tidak heran jika banyak orang yang tidak beriman kepada Allah Swt, tetapi mau bekerja keras untuk mendapatkan kemakmuran di dunia, walaupun di akherat ia tetap celaka. Sebaliknya, adapula yang beriman kepada Allah Swt. tetapi tidak mau bekerja dan berusaha sehingga sulit untuk mencapai kemakmuran[17].
Oleh karena itu, seorang muslim selayaknya mengeluarkan segala kemampuannya untuk mencari rezeki dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, rezeki yang diusahakannya haruslah halal, tidak mengutamakan penghasilan yang banyak semata, tanpa mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Tentu saja, pekerjaan apapun tidak dilarang selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam bekerja, sebaiknya ia menggunakan tangannya atau kemampuannya serta sesuai pula dengan keahliannya. Bekerja dengan menggunakan tangan dan kemampuan sendiri sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah pekerjaan yang paling baik. Dalam hadis lain pun dinyatakan:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِه
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa telah mengabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus dari Tsaur dari Khalid bin Ma'dan dari Al-Miqdam radliallahu'anhu dari Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s memakan makanan dari hasil usahanya sendiri". (H.R.Bukhari, Abu Dawud, Nasa’I, dan Lain-lain)[18]
Kisah tentang Nabi Daud a.s yang bekerja dengan tangannya sendiri. Abu Laits meriwayatkan dengan sanadnya dari Nashier bin Yahya berkata Bahwa Nabi Dawud a.s. biasa keluar dengan menyamar, lalu menanyakan orang tentang kelakuannya, maka pada suatu hari Malaikat Jibril berupa anak Adam sehingga ditegur oleh Nabi Dawud, “Hai pemuda, bagaimana pendapatmu tentang Dawud?” Jawabanya, “Sebaik-baik hamba, hanya ada satu sifat kurang baik”. Ditanya, “Apakah itu?” Jawabannya, “Ia makan dari Baitul Maal Lil Muslimin, padahal tiada seorang hamba yang disayang Allah lebih daripada orang yang makan dari hasil tangannya sendiri”. Maka kembalilah Nabi Dawud ke mihrabnya sambil menangis dan mohon kepada Allah. “Ya Allah ajarkan kepadaku usaha yang dapat saya kerjakan sehingga saya tidak lagi mengambil belanja di Baitul Maal”. Maka Allah mengajarkan kepadanya membuat pakaian perang dan melunakkan besi ditangannya sehingga bagaikan adonan, maka bila ia telah selesai dari melayani hajat rakyatnya ia kembali di rumah membuat baju besi dan dijual untuk belanja sekeluarganya[19].
Hadis ini lebih mempertegas tentang mulianya orang yang menggunakan kemampuannya. Harta yang dihasilkan melalui kerja keras walaupun sedikit dipandang lebih bernilai daripada harta warisan atau pemberian orang lain. Demikian pula ampunan Allah Swt. senan tiasa menyertai orang yang keletihan dalam mencari rezeki, sebagimana Rasulullah Saw, bersabda, “Barang siapa yang merasa letih di malam hari karena bekerja, maka di malam itu ia diampuni”. (HR.Ahmad)
Selai itu, Islam pun menjamin dan melindungi mereka yang mau bekerja keras dan menyuruh para majikan untuk menghargai kerja keras orang yang bekerja kepadanya. Dalam sebuah hadis, bahwa Nabi Saw, bersabda, “Berikan gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya”. (HR. Abu Ya’la)
Di antara hikmah dari rezeki yang dihasilkan melalui tangan sendiri adalah terasa lebih nikmat daripada hasil kerja orang lain. Juga akan menumbuhkan hidup hemat karena merasakan bagaimana payahnya mencari rezeki. Selain itu, ia pun tidak akan lagi menggantungkan hidupnya kepada orang lain, yang belum tentu selamanya rido dan mampu membiayai hidupnya[20].
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia dalam hubungannya dengan dengan kehidupan dunia dan akhirat terbagi kepada tiga golongan[21].
1)     Orang-orang yang sukses atau menang, yakni mereka yang lebih menyibukkan dirinya untuk kehidupan di akhirat daripada kehidupan dunia;
2)     Orang-orang yang celaka, yakni mereka yang menyibukkan dirinya untuk kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat.
3)     Orang-orang berada di antara keduanya, yakni mereka yang mau menyeimbangkan antara kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat.
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, mengutip pendapat seorang ahli hikmah, “Para pedagang yang tidak memiliki ketiga sifat di bawah ini, akan menderita kerugian dunia dan akhirat[22]:
a)     Mulutnya suci dari bohong, laghwu (main-main/bergurau) dan sumpah;
b)     Hatinya suci dari penipuan, khianat, dan iri;
c)      Jiwanya selalu memelihara shalat jum’at, shalat berjamaah, selalu menimba ilmu, dan mengutamakan rido Allah Swt. daripada lainnya.”
Tentu saja tidak hanya dalam berjual beli yang harus diperhatikan kehalalan dan kebersihannya, tetapi juga dalam setiap kasab, hendaknya menjadikan kehalalan dan kebersihan sabagai standar utama dalam mencari rezeki karena bagaimanapun juga, Allah Swt. akan memintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
2.     Larangan Meminta-Minta
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى السَّائِلَةُ
a.       Terjemahan Hadis:
“Dari Abdullah ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah Saw bersabda dari atas mimbar, beliau menyebutkan masalah zakat dan menahan diri dari meminta-minta, beliau bersabda, "Tangan yang di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah, dan yang di maksud tangan di atas adalah yang memberi, sedangkan yang di bawah adalah yang meminta" (HR.Muslim)
b.      Penjelasan Hadis:
Islam sangat mencela orang yang mampu untuk berusaha dan memiliki badan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, melainkan hanya menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Misalnya, dengan cara meminta-minta. Keadaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan sifat umat Islam yang mulia dan memiliki kekuatan[23].
Sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT. yaitu:
يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعْنَآ إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الاٌّعَزُّ مِنْهَا الاٌّذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَـكِنَّ الْمُنَـفِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ()
Artinya:
“Mereka berkata, ‘Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari medan perang Bani Mustaliq), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang yang lemah dari sana. ‘Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahuinya.” (Q.S.Al-Munafiqun (63):8).
                        Dengan demikian, seorang peminta-minta, yang sebenarnya mampu mencari kasab dengan tangannya, selain telah merendahkan dirinya, ia pun secara tidak langsung telah merendahkan ajaran agamanya yang melarang perbuatan tersebut. Bahkan ia dikategorikan sebagai kufur nikmat karena tidak menggunakan tangan dan anggota badannya untuk berusaha dan mencari rezeki sebagaimana diperintahkan syara’[24]. Padahal Allah pasti memberikan rezeki kepada setiap makhluk-Nya yang berusaha. Allah Swt. berfirman:
وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الاٌّرْضِ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِى كِتَابٍ مُّبِينٍ()
Artinya:
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(Q.S.Hud(11):6)
                        Berdasarkan hadis di atas tadi, dinyatakan secara tegas bahwa tangan orang yang di atas (pemberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang diberi). Dengan kata lain, derajat pemberi lebih tinggi daripada derajat peminta-minta. Maka seyogianya bagi setiap umat Islam yang memiliki kekuatan untuk mencari rezeki, berusaha untuk bekerja apa saja yang penting halal. Walaupun suatu pekerjaan dipandang hina[25]. Dalam pandangan manusia, seperti mencari kayu serta membawanya di atas punggungnya. Tentu saja, hasilnya tidak besar, tetapi pekerjaan ini lebih mulia dibandingkan para pengemis atau orang yang biasa menggantungkan hidupnya pada orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yaitu:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ مَوْلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al-Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari Abu 'Ubaid sahayanya 'Abdurrahman bin'Auf, bahwa dia mendengar Abu Hurairah radliallahu'anhu berkata, "Sungguh, seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dan di bawa dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta kepada orang lain, baik orang lain itu memberinya atau menolaknya". (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab; “Jual Beli”, bab usaha dan kerja dengan tangannya sendiri)
                        Pada hal harta yang diperoleh dengan cara seperti dari minta-minta sama saja dengan mengumpulkan bara api, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنْ عمر أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar .r.a, dia berkata, "Rasulullah bersabda, 'Tidaklah seseorang yang selalu meminta-minta kecuali ia akan bertemu dengan Allah dengan muka yang tak berdaging". (H.R.Muslim)
                        Kemudian, dalam memberikan bantuan kepada orang lain, yang lebih utama adalah keluarga terdekat, kerabat terdekat, dan seterusnya. Seperti sabda Rasulullah Saw,:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَعَنْ وُهَيْبٍ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا


Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Hakim bin Hiram radliallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam berkata, "Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, maka mulailah untuk orang-orang yang menjadi tanggunganmu dan shadaqah yang paling baik adalah dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka barang siapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya dan barang siapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya". (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam “Kitab Zakat,” bab “Tidak ada zakat kecuali dari orang yang kaya.”)
                        Dengan kata lain, tidak mengutamakan memberi kepada orang lain sementara diri dan keluarga kelaparan. Dengan demikian, maka tidak boleh terlalu kikir ataupun terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan sesuatu kepada orang lain.
                        Bagi orang yang selalu membantu orang lain, di samping akan mendapatkan pahala kelak di akhirat, Allah juga akan mencukupkan rezekinya di dunia. Dengan demikian, pada hakikatnya dia telah memberikan rezekinya untuk kebahagiaan dirinya dan keluarganya. Karena Allah Swt. akan memberikan balasan yang berlipat dari bantuan yang ia berikan kepada orang lain.
                        Orang yang tidak meminta-minta dan menggantungkan hidup kepada orang lain meskipun hidupnya serba kekurangan, lebih terhormat dalam pandangan Allah Swt. dan Allah akan memuliakannya akan mencukupinya. Orang Islam harus berusaha memanfaatkan karunia yang diberikan oleh Allah Swt. yang berupa kekuatan dan kemampuan dirinya untuk mencukupi hidupnya disertai doa kepada Allah Swt[26].
                        Adanya kewajiban berusaha bagi manusia, tidak berarti bahwa Allah Swt. tidak berkuasa untuk mendatangkan rezeki begitu saja kepada manusia, tetapi dimaksudkan agar manusia menghargai dirinya sendiri dan usahanya, sekalipun agar tidak berlaku semena-mena atau melampaui batas, sebagaimana dinyatakan oleh Syaqiq Ibrahim dalam menafsirkan ayat:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْاْ فِى الاٌّرْضِ وَلَـكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَآءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرُ بَصِيرٌ()
Artinya:
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki, Sungguh, Dia Maha Teliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.”
(Q.S.Asy-Syura:27)
Menurutnya, seandainya Allah Swt, memberi rezeki kepada manusia yang tidak mau berusaha, pasti manusia semakin rusak dan memiliki banyak peluang untuk berbuat kejahatan. Akan tetapi, Dia Mahabijaksana dan memerintahkan manusia untuk berusaha agar manusia tidak banyak berbuat kerusakan.
3.     Mukmin Yang Kuat Mendapat Pujian
عن أبى هريرة رضى الله عنه قل:قل رسول الله صلى الله عليه وسلم : المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من الموْمن الضعيف وفى كل خيرأحرص على ما ينفعك واستعن بالله ولاتعجزوإن أصابك شىء فلاتقل لوإنى فعلت كذا كان كذا وكذا ولكن قل قد رالله وما شاءفعل, فإن لوتفتح عمل الشيطان.
a.       Terjemahan Hadis:
“Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah Saw, bersabda, “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah dan dalam segala sesuatu, ia dipandang lebih baik. Raihlah apa yang memberikan manfaat bagimu. Minta tolonglah kepada Allah. Janganlah berkata, ‘Kalau aku berbuat begini, pasti begini, dan begitu, tetapi katakanlah, “Allah Swt. telah menentukan dan Allah menghendaki aku untuk berbuat karena (kata) “kalau” akan mendorong pada perbuatan setan .” (HR.Muslim)
b.      Penjelasan Hadis
Hadis di atas mengandung tiga perintah dan dua larangan, sebagai berikut:
1)     Memperkuat Iman
Keimanan seseorang akan membawa kepada kemuliaan baginya, baik di dunia maupun di akhirat. Kalau keimanan kuat dan selalu diikuti dengan melakukan amal saleh, ia akan mendapatkan manisnya iman, sebagaimana firman Allah SWT:
مَنْ عَمِلَ صَـلِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَوةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ()
Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan amalan saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. An-Nahl: 97)
Setiap orang memiliki tingkat keimanan yang berbeda-beda. Ada yang kuat keimananya yang ditandai dengan disifatnya yang selalu berusha untuk mengisi keimanannya dengan berbagai amal yang diperintahkan oleh Allah Swt, seperti memerintah kebaikan dan melarang kemungkaran, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, memberi sedekah, dan lain-lain. Ada pula yang lemah imannya ia tidak mau mengerjakan kewajibannya sebagai orang beriman, seperti tidak mengerjakan shalat, melakukan perilaku tercela, tidak memberi sedekah, dan lain-lain. Tentu saja, orang yang kuat imannya lebih baik daripada orang yang lemah imannya. Hal ini karena orang yang kuat imannya akan berusaha untuk menjadikan segala aktivitas kehidupannya dalam kebaikan[27].
Kuat dan lemahnya seorang mukmin, selain dapat dipahami dari perbuatan yang dilakukannya, dapat juga dipahami dalam realitas kehidupan. Misalnya, dilihat dari segi kekuatan badan, ia tidak loyo, selalu tegar, dan lain-lain. Seorang mukmin yang berbadan kuat dan menggunakan kekuatannya itu digunakan untuk beribadah dan membela agamanya lebih baik daripada mukmin yang lemah badannya sehingga tidak memiliki kekuatan untuk berjuang menegakkan agama Allah.
Kata “kuat” dalam hadis di atas dapat juga dipahami dalam hal ekonomi atau kekayaan. Orang yang rajin berusaha sehingga memperoleh harta benda yang melimpah untuk digunakan bekal beribadah dan mengerjakan amal saleh lebih baik daripada orang yang tidak mau berusaha sehingga kehidupannya susah[28].
Secara singkat Rasulullah Saw, memerintahkan orang yang beriman untuk menghiasi keimanannya dengan berbagai amal saleh serta memelihara badannya agar kuat, dan rajin berusaha sehingga kuat perekonomiannya. Tentu saja tetap berusaha untuk menjauhi segala bentuk kemaksiatan supaya mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2)     Perintah Untuk Memanfaatkan Waktu
Rasulullah Saw. menginginkan agar umatnya mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, beliau memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu se-efektif mungkin bagi kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik untuk kehidupan di dunia maupun akhirat.
Banyak sekali aktivitas yang bermanfaat bagi kehidupan seorang mukmin, seperti mencari ilmu, membaca, bekerja mencari rezeki yang halal, berolah raga, memperbanyak amalan sunnah, dan lain-lain. Oleh karena itu, jangan menghambur-hamburkan waktu untuk kegiatan yang tidak bermanfaat, bermalas-malasan, malamun, dan lain-lain.
Dalam kehidupan di masyarakat, orang-orang yang sukses dan berhasil dalam hidupnya adalah mereka yang senantiasa menggunakan waktunya untuk kegiatan yang bermanfaat dan selalu serius dalam mengerjakan sesuatu. Mereka menganggap bahwa waktu adalah uang (time is money). Sebaliknya, orang-orang yang suka menghambur-hamburkan waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berguna, tidak akan meraih kesuksesan bahkan ia akan tergilas oleh zaman.
Pepatah Arab menyatakan:
قَطَعَكَتَقْطَعْهَاْﻟَمإِنْﻠسَّيْفُڪََاﺃﻠوٓقْتُ
Artinya:
“Waktu itu bagaikan pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya
(menggunakannya untuk memotong), ia akan memotongmu.”
Iqbal dalam Asrar Al-Khuldi berkata, “berhenti tidak ada tempat untuk jalan ini dan sikap lamban berarti mati. Mereka yang bergerak, akan maju kemuka, sedangkan mereka yang menunggu sekalipun sejenak pasti tergilas[29].
3)     Memohon Pertolongan Allah SWT
Manusia hanyalah diwajibkan untuk berikhtiar, sedangkan yang memutuskan keberhasilannya adalah Allah SWT. orang mukmin sangat ditekankan untuk memperbanyak doa agar Allah Swt. menolongnya. Dalam setiap shalat, hendaknya membaca:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
                Artinya:
“Hanya kepada-Mu aku beribadah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan.”(Q.S. Al-Fatihah: 5)
Dalam ayat tersebut, pertanyaan beribadah disejajarkan dengan memohon pertolongan. Orang-orang yang hanya beribadah saja kepada-Nya, namun tidak pernah memohon pertolongan, keimanannya masih dipertanyakan. Ini karena dia dapat dianggap orang sombong yang tidak memerlukan pertolongan Allah SWT.
Seseorang tidak akan mencapai kesuksesan, tanpa adanya kekuasaan dan kehendak Allah Swt. Namun demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan pekerjaan seseorang. Oleh karena itu, bekerja dan berusaha dengan sebaik-baiknya di sertai permohonan atas pertolongan Allah adalah sikap yang harus dilakukan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.
4)     Larangan Membiarkan Kelemahan
Telah dijelaskan di atas bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berusaha dan bekerja sehingga menjadi orang yang kuat dalam berbagai hal, baik iman, badan, harta, dan lain-lain.
Kelemahan seseorang berawal dari kemalasannya. Orang menjadi bodoh karena malas mencari ilmu, orang yang lemah badannya karena ia tidak rajin berolah raga, orang yang miskin hartanya karena ia tidak mau bekerja, dan lain-lain[30].
Setiap orang harus berusaha untuk mengubah segala kelemahan yang ada pada dirinya karena Allah Swt. tidak akan mengubahnya kalau orang tersebut tidak mau mengubahnya. Allah Swt. berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”(Q.S.Ar-Ra’d: 11)

5)     Larangan Untuk Menyatakan “Kalau” (Seandainya Begini dan Begitu Pasti Hasilnya Begini)
Dalam berusaha, tidak dapat dipastikan bahwa selamanya berhasil. Suatu waktu, seseorang pasti mendapatkan kegagalan. Dalam menghadapi seperti itu, Islam menganjurkan untuk berikhtiar.
Pertanyaan “kalau begini dan begitu” merupakan godaan setan untuk mendahului kehendak Allah Swt. bahkan suatu usaha akan berhasil jika Allah tidak menghendaki keberhasilannya.




BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.    Berdasarkan dari beberapa referensi yang telah penulis baca penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Etos kerja secara umum adalah karakter, pandangan hidup, atau prinsip untuk melakukan suatu perbuatan untuk mendapatkan hasil berupa materi.
2.    Manusia diwajibkan untuk bekerja karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Dengan bekerja, Allah akan memberikan karunia-Nya sebaliknya untuk orang yang malas bekerja seperti meminta-minta, akan di sebut orang yang kufur nikmat.
3.    Nabi dan Rasul Allah juga mengajarkan untuk bekerja keras kepada umatnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan cara berdoa kepada Allah dan dibarengi dengan bekerja sesuai kemampuannya. Seperti Nabi Muhammad Saw. pernah mengembala kambing dan berdagang.
4.    Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya. Islam tidak memandang pekerjaan seseorang itu, baik penghasilannya besar maupun kecil yang terpenting yaitu keinginan untuk bekerja keras. Sebaliknya, untuk orang yang kuat fisiknya dan memiliki kecerdasan dalam berpikir tetapi malas untuk bekerja, perbuatan itu sangat dicela oleh Islam, karena umat Islam memiliki kekuatan dan kedudukan yang mulia di hadapan Allah SWT.




DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Bahrun, L.C. 2004. Ter. Shofwatul Bayaan Lima’aanil Qur’aanil Kariim. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Al-Hikmah. 2008. Al-Quran Dan Terjemahannya. Bandung: CV Diponegoro.
Ari Susanto. 2012. Kumpulan Makalah. (Online). http://situsilmiah.blogspot.com/2012/04/etos-kerja.html (28 Februari 2013)
Asy-Syirbaany, Ridwan. 2009. Membentuk Pribadi Yang Lebih Islami (Suatu Kajian Akhlak). Jakarta: PT. Intimedia Ciptanusantara.
Bahreisy, Salim. Tanbihul Ghafilin (Peringatan Bagi Yang Lupa Bagian 2. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Chaniago, Amran. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesi. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Fachruddin dan Irfan Fachruddin. 1996. Pilihan Sabda Rasul (Hadis-Hadis Pilihan). Jakarta: Bumi Aksara.
Helmy, Masdar. 1995. Min Akhlaqin-Nabiy. Bandung: Gema Risalah Press.
Imaanstar Software. The Abridged Tafsir Ibn Kathir Volume 1-10.
JT, M. Satiri. 1983. Tuntunan Praktis Tata Pergaulan Sehari-Hari (Menurut Ayat Al-Quran dan Hadis). Jakarta: CV. Multi Yasa dan Co.
Khaerul Umam. 2009. Etos Kerja. (Online). http://khaerul21.wordpress.com/2009/05/17/etos-kerja/ (28 Februari 2013)
Permana, Yoga. 2009. Ebook Mukhtashar Shahih Musli.
Permana, Yoga. 2008. Ebook Shahih Ibnu Majah.
Qasim, Tarmana Ahmad. 1994. Syarah Hadis: Qabasaatmin As Sunnah An Nabawiyyah (Cuplikan Dari Sunah Nabi Muhammad SAW). Bandung: Trigenda Karya.
Raudhatulmuhibbin. E-Book Shahih Al-Adab Al Mufrad.
Sayadi, Wajidi. 2009. Hadis Tarbawi (Pesan-Pesan Nabi SAW Tentang Pendidikan). Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Sidokare, Abu Ahmad As. 2009. Ebook Kitab Shahih Bukhari.
Soeharnoismail. 2012. Makalah Hadist tentang Etos Kerja Dalam Islam. (Online). http://soeharnoismail.wordpress.com/2012/11/21/makalah-hadist-tentang-etos-kerja-dalam-islam/ (28 Februari 2013)
Syafe’I, Rachmat. 2000. Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum). Bandung: CV Pustaka Setia.
Tebba, Sudirman. 2003. Membangun Etos Kerja Dalam Perspektif Tasawuf. Bandung: Pustaka Nusantara Publishing.


[1] Y.S. Amran Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesi, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), hlm.187.
[2]Ibid,.hlm.307.
[3] Sudirman Tebba, Membangun Etos Kerja Dalam Perspektif Tasawuf. (Bandung. Pustaka Nusantara Publishing, 2003), hlm. 1.
[4]Ibid., hlm. 12
[5]Masdar Helmy, Ter. Min Akhlaqin-Nabiy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), hlm. 454
[6] Ibid., hlm. 455.
[7] Ibid.
[8] Bahrun Abubakar, L.C., Ter. Shofwatul Bayaan Lima’aanil Qur’aanil Kariim, (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2004) hlm. 138.
[9] Salim Bahreisy,  Ter. Tanbihul Ghafilin, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1975) hlm. 683
[10]Ibid., hlm. 686
[11]Masdar Helmy, Op. Cit., hlm. 456.
[12]Ibid., hlm. 458
[13]Tarmana Ahmad Qasim, Syarah Hadis: Qabasaatmin As Sunnah An Nabawiyyah (Cuplikan DariSunah Nabi Muhammad SAW).(Bandung: Trigenda Karya. 1994). hlm. 200-201.
[14]Salim Bahreisy, Op. Cit., hlm. 684
[15]Ibid., hlm. 685.
[16]Rachmat Syafe’i. Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum).(Bandung: CV. Pustaka Setia). Halm.114.
[17]Ibid., hlm. 115.
[18]Ibid., hlm. 116.
[19]Salim Bahreisy, Op. Cit., hlm. 684
[20]Rachmat Syafe’i, Op. Cit.., hlm. 117.
[21]Ibid.
[22]Salim Bahreisy, Op. Cit., hlm. 692.
[23]Rachmat Syafe’i, Op. Cit.., hlm. 122.
[24]Ibid.

[25]Ibid., hlm. 123.
[26]Ibid., hlm. 124.
[27]Rachmat Syafe’i. op. cit.,hlm. 128.
[28]Ibid.
[29]Ibid., hlm. 129.
[30]Ibid., hlm. 130.